Upaya manusia dalam memenuhi kebutuhan yang hampir tak terbatas, memerlukan dukungan yang besar dari daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan. Makin besar kebutuhan yang diperlukan maka makin besar pula dampak yang akan timbul.
Namun demikian perlu disadari oleh semua pihak, jika pengendalian dampak lingkungan ini tidak terkelola secara baik dan benar, maka yang menanggung akibatnya adalah manusia itu sendiri, hewan, tumbuh-tumbuhan dan alam sekitarnya.
Rumah adalah merupakan tempat tinggal dan dapat pula berfungsi sebagai pembinaan dalam rumah tangga. Dengan demikian maka segala hal yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di rumah tangga dapat diharapkan dapat dikelola dengan baik. Dengan demikian maka dampak limbah B3, khususnya sabun dan deterjen di dalam rumah tangga dapat dikelola dengan baik, sehingga setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat kiranya dapat terwujud.
Tentang Sabun
Sabun yang ditemukan pertama kali oleh bangsa Arab pada abad ke-19, pada dasarnya terbuat dari proses pencampuran (Safonifikasi) Soda kaustik dengan minyak nabati (minyak tumbuh-tumbuhan) atau minyak hewani (minyak yang berasal dari lemak hewan). Mengingat sifat sabun yang berasal dari bahan alami, masyarakat pengguna yang mengkonsumsi sabun pun nyaris tak mengalami gangguan seperti alergi atau kerusakan pada kulitnya. Sabun sebagai bahan pembersih yang berbentuk cair maupun padat, bisa digunakan untuk mandi, mencuci pakaian, atau membersihkan peralatan rumah tangga.
Tentang Deterjen
Sebagai bahan pembersih lainnya, deterjen merupakan buah kemajuan teknologi yang memanfaatkan bahan kimia dari hasil samping penyulingan minyak bumi, ditambah dengan bahan kimia lainnya seperti fosfat, silikat, bahan pewarna, dan bahan pewangi. sekitar tahun 1960-an, deterjen generasi awal muncul menggunakan bahan kimia pengaktif permukaan (Surfaktan) Alkyl Benzene Sulfonat (ABS) yang mampu menghasilkan busa. Namun karena sifat ABS yang sulit diurai oleh mikroorganisme di permukaan tanah, akhirnya digantikan dengan senyawa “Linier Alkyl Sulfonat (LAS) yang diyakini relatif lebih akrab dengan lingkungan.
Pada banyak negara di dunia penggunaan ABS telah dilarang dan diganti dengan LAS. Sedangkan di Indonesia, peraturan mengenai larangan penggunaan ABS belum ada. Beberapa alasan masih digunakannya ABS dalam produk deterjen, antara lain karena harganya murah, kestabilannya dalam bentuk krim/pasta dan busanya melimpah.
Kandungan Zat Kimia pada Deterjen
Dibanding dengan sabun, deterjen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air. Pada umumnya, deterjen mengandung bahan-bahan berikut :
Surfaktan. Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai ujung berbeda yaitu hidrofil (suka air) dan hidrofob (suka lemak). Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang termasuk bahan kimia organik. Ia memiliki rantai kimia yang sulit didegradasi (diuraikan) alam. Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan, atau istilah teknisnya, ia berfungsi sebagai emulsifier, bahan pengemulsi.. Zat kimia ini bersifat toksik (beracun) bila dihirup, diserap melalui kulit atau termakan. Secara garis besar, terdapat empat kategori surfaktan yaitu:
• Anionik :
• Alkyl Benzene Sulfonate (ABS)
• Linier Alkyl Benzene Sulfonate (LAS)
• Alpha Olein Sulfonate (AOS)
• Kationik : Garam Ammonium
• Non ionik : Nonyl phenol polyethoxyle
• Amphoterik : Acyl Ethylenediamines
Builder. Builder (pembentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air.
• Fosfat : Sodium Tri Poly Phosphate (STPP)
• Asetat :
• Nitril Tri Acetate (NTA)
• Ethylene Diamine Tetra Acetate (EDTA)
• Silikat : Zeolit
• Sitrat : Asam Sitrat
Filler. Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas. Contohnya Sodium sulfat.
Aditif. Aditif adalah bahan suplemen / tambahan untuk membuat produk lebih menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dst, tidak berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk maksud komersialisasi produk. Contohnya Enzim, Boraks, Sodium klorida, Carboxy Methyl Cellulose (CMC)
Penggunaan Sabun dan Deterjen
Penggunaan sabun sebagai bahan pembersih yang dilarutkan dengan air di wilayah pegunungan atau daerah pemukiman bekas rawa sering tidak menghasilkan busa. Hal itu disebabkan oleh sifat sabun yang tidak akan menghasilkan busa jika dilarutkan dalam air sadah ( air yang mengandung logam-logam tertentu atau kapur ). Namun penggunaan deterjen dengan air yang bersifat sadah, akan tetap menghasilkan busa yang berlimpah.
Sabun maupun deterjen yang dilarutkan dalam air pada proses pencucian, akan membentuk emulsi bersama kotoran yang akan terbuang saat dibilas. Namun ada pendapat keliru bahwa semakin melimpahnya busa air sabun akan membuat cucian menjadi lebih bersih. Busa dengan luas permukaannya yang besar memang bisa menyerap kotoran debu, tetapi dengan adanya surfaktan, pembersihan sudah dapat dilakukan tanpa perlu adanya busa.
Opini yang sengaja dibentuk bahwa busa yang melimpah menunjukkan daya kerja deterjen adalah menyesatkan. Jadi, proses pencucian tidak bergantung ada atau tidaknya busa atau sedikit dan banyaknya busa yang dihasilkan. Kemampuan daya pembersih deterjen ini dapat ditingkatkan jika cucian dipanaskan karena daya kerja enzim dan pemutih akan efektif. Tetapi, mencuci dengan air panas akan menyebabkan warna pakaian memudar. Jadi untuk pakaian berwarna, sebaiknya jangan menggunakan air hangat/panas.
Pemakaian deterjen juga kerap menimbulkan persoalan baru, terutama bagi pengguna yang memiliki sifat sensitif. Pengguna deterjen dapat mengalami iritasi kulit, kulit gatal-gatal, ataupun kulit menjadi terasa lebih panas usai memakai deterjen.
Umumnya pada deterjen anionik ditambahkan zat aditif lain (builder) seperti :
• Golongan ammonium kuartener (alkyldimetihylbenzyl-ammonium cloride, diethanolamine/DEA). Perlu diketahui, zat kimia ini sering digunakan pada produk pembersih perawatan tubuh untuk menjaga pH (derajat keasaman) formula. Dapat menyebabkan reaksi alergi, iritasi mata, kekeringan, dan toksik jika digunakan dalam waktu lama. Zat karsinogen ini telah dilarang di Eropa tapi masih ditemukan pada formula kosmetik.
• Chlorinated trisodium phospate (chlorinated TSP). Zat kimia ini merupakan zat karsinogenik.
• Sodium lauryl sulfate (SLS). Zat kimia ini dapat mengubah sistem imun (kekebalan) dan menyebabkan kerusakan pada mata, saluran cerna, sistem saraf, paru-paru dan kulit. Umumnya ditemukan pada produk berbusa untuk perawatan tubuh. Mungkin terdaftar sebagai komponen produk semi natural yang diklaim berasal dari minyak kelapa.
• Sodium laureth sulfate (SLES). Bila dikombinasi dengan bahan lain, zat kimia ini membentuk zat nitrosamin dan mempunyai efek karsinogen pada tubuh. Perlu kehati-hatian terhadap produk semi natural yang diklaim berasal dari minyak kelapa.
• Linear alkyl benzene sulfonate (LAS). Zat kimia ini juga merupakan zat karsinogenik.
Dampak Penggunaan Sabun dan Deterjen Bagi Kesehatan dan Lingkungan
• Golongan ammonium kuartener itu dapat membentuk senyawa nitrosamin. Senyawa nitrosamin diketahui bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan kanker.
• Senyawa SLS, SLES atau LAS mudah bereaksi dengan senyawa golongan ammonium kuartener, seperti DEA untuk membentuk nitrosamin tadi. Bukan cuma itu, SLS diketahui menyebabkan iritasi pada kulit, memperlambat proses penyembuhan dan penyebab katarak pada mata orang dewasa.
• LAS relatif mudah didegradasi secara biologi ketimbang ABS. LAS bisa terdegradasi sampai 90 persen. Tapi bukan berarti masalah selesai. LAS juga butuh proses. Jadi di bagian ujung rantai kimianya harus dipecah. Ikatan o-meganya harus diputus dan butuh proses beta oksidasi. Karena itu perlu waktu.
• Menurut penelitian, alam membutuhkan waktu sembilan hari untuk mengurai LAS. Itu pun hanya sampai 50 persen. Melihat bahwa saat ini banyak rumah tangga yang membuang sisa cuciannya begitu saja tanpa pengolahan limbah sebelumnya, maka alam diharapkan mampu mendegradasinya.
• Sebelum dibuang dan bercampur dengan bahan baku air bersih, limbah cucian membutuhkan proses pengolahan yang rumit. Agar senyawa detergen terurai, limbah harus mendapat sinar ultraviolet yang cukup dan diendapkan sekitar tiga pekan. Makanya, negara yang mengizinkan pemakaian LAS rata-rata sudah memiliki sistem pengolahan air yang memadai.
• Proses penguraian deterjen akan menghasilkan sisa benzena yang apabila bereaksi dengan klor akan membentuk senyawa klorobenzena yang sangat berbahaya. Kontak benzena dan klor sangat mungkin terjadi pada pengolahan air minum, mengingat digunakannya kaporit (dimana di dalamnya terkandung klor) sebagai pembunuh kuman pada proses klorinasi.
• Saat ini, instalasi pengolahan air milik PAM dan juga instalasi pengolahan air limbah industri belum mempunyai teknologi yang mampu mengolah limbah deterjen secara sempurna.
• Penggunaan fosfat sebagai builder dalam deterjen perlu ditinjau kembali, mengingat senyawa ini dapat menjadi salah satu penyebab proses eutrofikasi (pengkayaan unsur hara yang berlebihan) pada sungai/danau yang ditandai oleh ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok menyebabkan terjadinya pendangkalan sungai. Pertanda lonceng kematian bagi kehidupan penghuni sungai.
• Di beberapa negara Eropa, penggunaan fosfat telah dilarang dan diganti dengan senyawa substitusi yang relatif lebih ramah lingkungan.
• Penggunaan deterjen dapat mempunyai risiko bagi kesehatan dan lingkungan. Risiko deterjen yang paling ringan pada manusia berupa iritasi (panas, gatal bahkan mengelupas) pada kulit terutama di daerah yang bersentuhan langsung dengan produk.
• Hal ini disebabkan karena kebanyakan produk deterjen yang beredar saat ini memiliki derajat keasaman (pH) tinggi. Dalam kondisi iritasi/terluka, penggunaan produk penghalus apalagi yang mengandung pewangi, justru akan membuat iritasi kulit semakin parah.
• Sabun mandi memang menghasilkan buih atau gelombang busa yang terlalu banyak. Formula soda ash atau detergen memang diakui andal membersihkan kotoran di kulit tubuh. Namun, jika digunakan di muka, minyak alami wajah Anda pun akan ikut tanggal. Bahkan sabun bisa menyisakan drying residu di permukaan kulit. Dan hal ini bisa mempercepat garis dan kerut muncul ke permukaan lebih cepat.
Tips
Lingkungan kita yang hijau, juga membutuhkan pembersih, apa gunanya jika kita peduli pada lingkungan, tapi rumah kita kotor berantakan? Alasan yang biasanya muncul adalah karena bahan pembersih yang biasanya tidak ramah lingkungan, bahkan berbahaya bagi lingkungan.
Tidak lupa untuk mengingatkan, perhatikan selalu komposisi bahan produk deterjen dan sabun anda, ataupun produk pembersih lainnya untuk memastikan bahwa produk yang anda gunakan aman. Cari terus informasi mengenai zat-zat kimia perusak kesehatan dan lingkungan hidup, dan sebarluaskan informasi tersebut kepada orang lain.
[dari berbagai sumber]